Daftar Isi

Ep.6 Hammi dan Fairi


"Meong kecil, apa yang harus aku lakukan setelah ini?, huff..." hari ini aku sedikit beruntung, aku bertemu lagi dengan kucing yang sama pada waktu aku pertama kali bertemu dengannya. Aku terus membelai bulunya, mencoba menenangkan diri tapi aku jadi tidak bisa tenang karena ternyata di belakangku ada anak laki-laki yang setiap hari menungguku di depan kelas. "Tumben," gumamku.
     Karena aku merasa tidak nyaman dan takut dicurigai aneh bicara dengan kucing, aku pun beranjak meninggalkan kucing itu dan mulai jalan memasuki sekolah.
"Apa dia mengikutiku," gumamku merasa tidak nyaman, "kalo tidak kan harusnya dia segera mendahuluiku dan segera pergi, membuatku tidak nyaman saja."
Aku pun mulai naik tangga, tapi dia masih saja di belakangku. Aku mengabaikannya, dengan terus melangkah sambil berpegangan pada pegangan tangga aku melihat Dian sedang duduk di tangga tersebut seolah-olah sedang menungguku atau malah mencegahku yaa...
 
"Jadi kan hari ini, Hammi?" Dian mulai mengajakku dengan penuh semangat namun aku yang tidak bersemangat.
"Aku tidak peduli, minggir!" tapi itu hanya suara nyawaku saja. Aku masih diam tidak menjawab.
"Aku tidak akan pergi sebelum kamu menjawab. Kalo iya, iya. Kalo enggak yaa aku tidak akan menyerah untuk terus memanggilmu." Dian mulai membela diri, seolah tidak merasa kasihan terhadapku yang aku mulai lemas menghadapinya.
Seperti teror saja, terus ngapain juga itu anak laki-laki tetap di belakangku dan tidak beranjak pergi. Aku menggenggam tanganku sendiri dengan erat. Haruskah aku turun saja yaa, tapi ada dia dibelakangku, apa dia mencoba menghalangiku ataukah benar dia malah bekerja sama dengan Dian?! Kenapa ini terasa sulit, aku merasa tidak bisa berbuat apa-apa bahkan aku menghadapi ini sendirian." Aku mulai sedih.
"Hish, aku harus kuat" ,aku menghentakkan kaki. Dan melangkah ke samping. Aku mencoba melangkah dengan tidak percaya diri, karena di dinding tangga tidak ada pegangannya, kalau aku tidak berpegangan aku akan jatuh. "Kenapa ini sangat menyusahkan!" aku mulai menangis, tapi aku harus kuat. Aku pun mengangkat kepala mulai mengambil langkah dan... Oleng, aku kehilangan keseimbangan... "Aku- aku akan jatuh..." aku memejamkan mata dengan erat, "mungkin, lebih baik begini"

"Hammi!", tiba-tiba anak laki-laki itu hup! menahan punggungku dengan ke dua tangannya. Tenang, bukan jatuh terus dipeluk dari belakang kok. Enggak pakai adegan romantis-romantis lho..
" Hammi! Bertahanlah!" anak laki-laki itu memanggil namaku, menyadarkanku dan menegakkan kembali tubuhku serta memastikan kalau aku sudah tidak apa-apa.
"Kamu tidak apa-apa?" tanyanya.
Aku hanya bisa menjawab, "um.."
Setelah dia mengetahui kalau aku mungkin sudah baik-baik saja. Dia langsung memegang tanganku dengan tangan kanannya, menuntunku dengan langkah cepat meninggalkan Dian yang penuh tanda tanya melihat keadaan kami berdua. Aku kaget dan mengikuti langkah cepatnya walaupun sedikit terengah-engah dan memanggil namanya pelan, "Fairi...". Anak laki-laki itu masih memegang tanganku hingga sampai di luar kelas. Dia pun melepaskan pegangannya.
"Hammi, maafkan aku karena ini" Fairi meminta maaf kepadaku mungkin karena dia memegang tanganku atas kejadian yang tidak disengaja ini.
Aku hanya bisa menjawab dengan nada datar tidak bertenaga, "iya, tidak-, anu- te-terimakasih."
"Syukurlah, maaf aku ada urusan sebentar..."
Kemudian Fairi pun pergi meninggalkanku.

*****
Sekarang aku sudah bisa memanggil nama gadis kucing itu, Hammi. Tubuhku terasa bergetar atas perasaanku padanya yang tidak menentu. Apa yang akan terjadi setelah ini ya, aku penasaran. Yang jelas semoga Hammi kembali pada dirinya sendiri dan tidak menghadapi hal-hal yang diluar kendalinya lagi. Dan aku akan terus memastikannya, memahaminya dari jauh. 

*****
"Hei Dian?!" Panggilku yang Dian masih saja duduk di tangga tersebut.
"Kau Fairi kan?" Tanyanya..
"Hahaha..." tawaku, aku pun melanjutkan, mengajaknya ngobrol dengan santai tanpa menghakiminya.
"Kenapa kau ini? Populer sekali dimata para gadis?" tegasku sedikit bercanda
"apa maksudmu? aku memang siswa yang paling populer di sekolah ini, siapa coba yang tidak mengenalku..." Dian merasa percaya diri tanpa rasa takut
"Sudahlah...kadang kala... perhatikan dulu caramu mempopulerkan diri kepada mereka, terhadap anak tadi kau hampir saja membuat... aaah sudahlah... aku tidak akan bertengkar denganmu dan menghakimi sikapmu itu..." aku mencoba untuk tidak menambah panas obrolan ini.
"Kau ini gimana sih? membingungkan sekali..." Dian masih saja merasa tidak bersalah
"Fairi? Jangan-jangan apa kamu menyukai Hammi?" Dian pun mempertegas keadaan dan terus melanjutkan
"Hahaha.... kamu cemburu? tenang saja..., aku terhadap Hammi? hahahaha... kayak gak kenal aku saja, yang sudah jelas beritanya kalau aku ini playboy, yang hanya suka mempermainkan perasaan para gadis tapi malah mereka pada suka walaupun itu hanya sekedar saja tidak ada yang perlu diseriusin" Dian terus memberi penjelasan tanpa rasa salah. Dia hanya terus menganggap perbuatannya itu hanya untuk bersenang-senang tanpa melukai hati.
     Aku pun sebenarnya sudah tahu dan paham akan hal itu dan itu hal yang biasa-biasa saja bagi para gadis dan aku bahkan teman-teman lainnya pun tidak memperdulikannya tapi mungkin bagi Hammi itu sesuatu yang tidak biasa, dia tidak menyukai hal itu... Dan obrolanku dengan Dianpun terus berlanjut...
Continue >>>

Ep.5 Hammi dan Dian


    Di rumah ketika aku mau bersiap untuk tidur, aku jadi kepikiran penjelasan Ruli tentang Dian. Aku mencoba untuk mengabaikannya, namun itu sangat menggangguku sehingga aku tidak bisa tidur. "Baiklah, aku akan sedikit memikirkan rasa penasaranku ini."
Kata Ruli, "Dian, juara 1 pemenang lomba adzan tingkat Mts se Kota Surakarta. Suara emasnya mampu menggugah hati setiap orang yang mendengarnya, tidak heran bila banyak anak gadis yang terpesona olehnya."
"Bahkan dia pun jago memikat hati para gadis benar-benar raja gombal. Kalau ada lomba ngegombal gitu mungkin dia pun juga akan menjadi juara 1." Aku pun cekikikan sendiri.
"Eh"?! kenapa aku jadi peduli" Aku kaget sendiri dengan diriku ini.
"Tapi kenapa aku tidak tersentuh sedikitpun yaa dengan panggilannya, he he he" aku pun menyeringai
"Iyaa sempat sih awalnya aku sampai ketakutan, tapi... Setelah aku tau kebenaran ini, aku harus gimana yaa..." aku mulai memikirkan cara untuk menghadapi perasaan ini, haruskah aku memarahinya? Tidak! Aku tidak bisa mengeluarkan tenaga hanya untuk marah-marah. Menasehatinya? Nasehat apa coba?, aku kan bukan siapa-siapa ato menerimanya? Whats?! Aku gak mau jadi gadis murahan ah! Sombong! Hi hi hi! Ato sok jual mahal aja yaa! Itu juga sombong! Aaahh! Sambil membuang bantal yang sedang aku peluk, aku terus berbicara sendiri melakukan obrolan yang tidak menentu.
 
****
Pagi harinya...
"Hammi..." akhirnya Dian juga masih suka memanggil-manggil namaku. Aku pun tidak menoleh dan terus melangkah menuju kelas.
Waktu istirahat...
"Hammi, Hammi, Hammi," Dia membuntutiku kemana pun aku pergi dengan terus memanggil namaku, aku tetap mengabaikannya. Tapi, teman-teman yang lain mulai melihat ke arahku.,
"Astagaaa!!" aku pun berhenti dan menoleh ke arahnya.
"Hei kamu! Siapapun namamu, aku tidak tau namamu dan aku tidak ingin kenal dengan kamu. Tolong berhenti memanggil namakuu!! Aku sedikit teriak dan membentak tidak peduli teman lain melihatku.
"Kalau begitu, ayo kita kenalan..." Dian menambah
"Gedubrak!" aku merasa malah menambah masalahku sendiri. Tepuk jidat. "Baiklah, tunggu disitu. Dan jangan bergerak selangkah pun! Aku pun jadi tidak tertarik melanjutkan ini, segera aku mengambil langkah cepat sambil menutup kedua telinga dan pergi meninggalkannya.
 
****
Di lain hari...
"aaah hari ini tenang." aku sedang di perpustakaan, mengambil buku dan mencari tempat duduk kosong untukku segera membaca buku yang sudah aku ambil. Namun, tiba-tiba...
"Ham-mi?" Dian sambil tersenyum dan membawa buku pula, mengagetkanku yang mau mulai membuka halaman buku untuk aku segera membacanya.
"Ya Alloh!" aku sontak kaget. "Masih saja?!" gumamku.
Dian pun segera duduk di sampingku, tapi aku langsung membentaknya.
"Berhenti!" tapi dia hanya kaget saja dan ngeyel  tetap duduk disampingku.
"Si- siapa yang mengizinkanmu untuk duduk?!"
"Wah, Hammi, sepertinya kamu mulai bisa akrab denganku." Dian yang sudah duduk melanjutkan untuk terus menggodaku, eits menggodaku diganti kata mengusili saja yaah.
"Apa?" Gumamku, "haruskah aku pergi lagi?"
"Kumohon, jangan pergi Hammi, haruskah kamu terus melarikan diri seperti itu? Itu tidak menyelesaikan masalah tau.." tambah godanya
"Kamu benar. Lalu, apa maumu?" aku pun menurut dengan sedikit acuh.
"Manis sekali. Kamu benar-benar imut Hammi." Dian pun tersenyum, "entah itu saat kamu diam, kamu marah, mengabaikanku, imutmu semakin bertambah bertambah bertambah maksimal saja."
"Ya Alloh, anak ini seperti dewasa tidak pada waktunya." gumam kesalku
"Kencan yuk?"
"Gedubrak!" apa lagi ini, aku mulai kelabakan dan salah tingkah tidak menentu tapi aku mencoba mengendalikan diri.
"A-pa, ke- ke- ke- ncan?!" mataku mulai berputar
"Iya, satu hari saja cukup kok." goda Dian.
"Sa-sa-sa-sa-sa-sa" aku terbata-bata hingga lidahku kaku untuk berbicara. Tapi Dian malah tertawa.
Aku pun kemudian menggenggam tanganku sendiri dengan erat mencoba tetap mengendalikan diri.
"Hei hei hei, Hammi, gak usa sampai takut begitu. Kamu tambah imut lho. Tenang saja, cuma satu hari aja kok itu udah cukup dan kencan kita gampang kok. Kita hanya kencan di sekolah saja, seharian jalan berdua, makan berdua, ke perpus berdua, belajar berdua, ngobrol berdua..."
Sambil terus dia bicara, jiwaku mulai tidak tenang, "ediaan!! Mbah dukunn! Ini anak tolong diobatin, dia benar-benar kesambet setan."
"Dan," dia tiba-tiba menunduk
"Dan- apa?" aku mencoba memperjelas
Dia kemudian malah mengacungkan jari kelingking, "aku janji, aku tidak akan menyentuhmu sedikitpun dan aku tahu itu dosa kaan, aku jamin kamu pasti aman! Setelah itu, kita bisa putus. Ups, bisa dibilang kita kembali ke dunia masing-masing. Oke?"
"Dia tahu dosa tapi tidak bisa memahaminya" Gumam sinisku.
"Mana kutahu!" aku pun langsung pergi meninggalkannya dan terus bergumam, kencan satu hari? terus udah? Apa dia juga melakukan ini kepada gadis-gadis yang lain? kenapa coba harus aku? Apa ini cara dia mencoba mengenali para gadis dengan mengatasnamakan kencan? Siapa peduli?!"
Dian malah tetap kepedean dan melambaikan tangan, "sampai jumpa besok ya Hammi..." 


Continue >>>

Ep.4 Hammi dan Rasa Penasaran


     Aku senang bisa berjumpa kembali dengan gadis kucing itu seperti biasa. Seperti pagi, aku selalu menunggunya di luar kelas. Aku selalu ingin melihatnya untuk pertama kalinya, ekspresinya dan memastikannya bahwa dia selalu dalam keadaan baik. Entah kenapa, entah kenapa. Aahh, aku benar-benar terpesona olehnya.
     Jiwaku selalu tertawa kecil dan aku selalu tersenyum simpul melihat salah tingkahnya setiap dia melihatku selalu menunggunya. Mungkin baginya ini sangat mengganggu dan bukan maksudku untuk menggodanya tapi aku tidak bisa menghentikannya, setidaknya sampai sekarang.
     Lihatlah, salah tingkahnya selalu menggemaskan. Mata kucingnya selalu bergerak tidak menentu disetiap melihatku. Wajahnya yang menyembunyikan rasa malu terlihat jelas dipipinya. Cantik, tidak ada yang menyamainya, spesial. Dan tidak pernah lupa, setiap kali dia mulai melangkahkan kakinya masuk ke dalam kelas sambil memegang bingkai pintu dia melirikku khawatir mungkin aku akan menertawakannya mengingat kejadian waktu lalu. Benar-benar kenangan.
     Hatiku bergumam, kenapa dia selalu salah tingkah setiap dia melihatku menungguinya. Harusnya dia bisa bersikap biasa saja seperti gadis lain yang acuh tak acuh. Dan aku tidak pernah langsung ikut masuk kelas setelahnya, karena aku menjaga diri agar aku tidak terlihat menunggunya. Bahkan teman yang lainnya pun tidak menyadarinya. Aku harus menyembunyikan perasaan ini dengan aman, dengan sangat aman.

*****
"Ima?"
"Iya Hammi?" akhirnya aku mencoba diri menanyakan rasa penasaranku ini kepada Ima.
"Dia..." aku mencoba memberi Ima kode dengan melirik-lirikkan mata kepada orang yang aku maksud. Tapi, Ima sedikit kurang peka.
"Dia siapa?"
"Itu loh yang di luar" aku sedikit memperjelas
"Oh. Fairi?"
"Sstt, jangan keras-keras." aku deg-degan ada yang ikut tahu dan untungnya anak laki-laki itu pun juga pergi dari tempatnya.
"Ada apa sih Hammi?"
"Di- dia itu orangnya gimana sih? Kok aku sedikit kurang nyaman terhadapnya ya.."
"Fairi maksudmu?!" jiwaku sedikit teriak, Ima sudah kubilang jangan keras-keras, kamu malah memperjelas" gigiku jadi sedikit menggeretak.
"Hahaha iya iya Hammi, sini duduk dulu. Aku akan menjawab segala rasa penasaranmu itu."
"Hammi, jangan-jangan..."
"Apa sih Ima! Ah sudahlah aku jadi tidak tertarik membahas ini kamu mulai membuatku tidak tenang" aku mulai meninggalkan Ima dan menuju ke tempat dudukku tapi Ima mencegahku.
"Iya iya Hammi, maaf... Aku tidak akan menggodamu yang tidak-tidak."
"Hmm..." aku meragukannya.
Tiba-tiba Ima membisikkan sesuatu di telingaku.
"Apa kamu menyukai Fairi?!"
"Glek!" aku tidak habis pikir kenapa Ima langsung berkesimpulan seperti itu, tapi jika obrolan ini terus dilanjutkan akan sampai mana nantinya. Aku tidak bisa menghadapinya. Aku hanya diam dan kembali ke tempat dudukku tanpa memberi respon apapun. Ima pun hanya melihatku bengong dan membiarkanku.

     Sepanjang pelajaran aku melamun, memikirkan kata-kata Ima barusan yang benar-benar membuatku shock. Kenapa yaa, apa manusia itu mudah dan suka sekali berbicara tentang cinta, perasaan, rasa suka dan sejenisnya? Sebenarnya bukannya aku tidak menyukai apa itu cinta, tapi aku lebih menghindarinya. Aku tahu apa itu cinta. Di televisi, buku-buku bahkan pada orang lain selalu ada cinta di sana tapi ketika cinta itu menemui masalah yang tidak dapat terselesaikan, hancurlah sudah. Bagiku, cinta itu rumit, membuat hubungan yang katanya spesial dengan orang lain itu rumit. Bahkan, hubungan pertemanan, persahabatan, keluarga juga sama apa lagi cinta. Aku, aku tidak menyukai hal-hal yang rumit, aku selalu mencari hal-hal yang sederhana, biasa dan apa adanya. Di dalam diriku, aku mengubur dalam-dalam perasaan itu dan tidak akan membangkitkannya atau memberikannya kepada orang lain. Aku akan terus melawan dan menghindarinya, segala perasaan yang berhubungan dengan cinta.
 
     Aku terus melamun tidak menentu, tapi akhirnya...
"Plak!" aku seperti ditampar oleh sesuatu. Itu ternyata penghapus kecil yang tiba-tiba terpental cukup keras mengenai bawah mataku sebelah kanan. Namun aku hanya mengusap-usapnya saja karena aku masih setengah sadar dan tidak sadar. Lalu aku mengambil penghapus kecil itu yang jatuh tepat di depanku dan bergumam, "ini penghapusnya siapa?"
     Bel istirahat pun berbunyi. Aku langsung berdiri dan menghiraukan kasus penghapus itu dan langsung keluar kelas mencari udara segar, menikmati kesendirianku sambil berjalan-jalan kecil memutari teras lantai atas sambil sesekali menatap langit. Aku menghela nafas beberapa kali, tiba-tiba aku melihat Cahyo yang sedang keluar kelas dan duduk di serambi depan kelasnya. Aku pun berjalan menuruni tangga menuju ke arahnya.
"Cahyo!." Aku memanggilnya
"Hammi, ada apa?"
"Boleh aku duduk?"
"Iya, duduklah."
Aku pun duduk didekat tempat duduknya namun Cahyo beranjak dari duduknya dan mengubah posisinya menjadi berdiri bersandar di dinding kelasnya.
"Cahyo, aku berhutang budi padamu kemarin kamu sudah mau membantuku. Terimakasih ya."
"Iyaa jangan terlalu dipikirkan." Cahyo menjawabnya dengan santai. Tapi kemudian dia melanjutkan,
"Tapi Hammi, masalahmu tidak selesai gitu aja lho, setelah ini pikirkanlah keputusan apa yang akan kamu lakukan. Karena yang pasti Dian mungkin masih mengejarmu atau pun hanya sekedar mengusilimu. Kamu kalo sudah bisa memutuskan maka akan ada penyelesainya kalo enggak yaa biarlah berjalan lagi seperti biasanya dan aku tidak akan membantumu untuk kedua kalinya. Goda Cahyo.
" panjang lebar sekali penjelesanmu cahyo." gumamku
"Iya, iya..." Aku hanya menjawabnya dengan simpel.
"Cih, jawaban apa itu... Yang jelas, jadilah berani, Hammi." Aku pun menjadi sedikit malu dengan nasehat Cahyo.

"Hammiiii !!!" tiba-tiba ada teriakan.
Aku kaget dan mencari-cari asal teriakan itu, dan ternyata Sholikhah sedang berlari menuju diriku seperti banteng yang melihat kain merah siap menyeruduk.
Sontak aku salah tingkah dan langsung berlari meninggalkan Cahyo tanpa persiapan. "Bye bye Cahyo.!" Dan Cahyo hanya melambaikan tangannya.

"Tidak tidak tidak..." aku terus berlari menghindari Sholikhah
"Aku harus kemana? Haruskah aku naik ke atas ato aku harus terus berlari?" bingungku.
"Hammi berhentiii !!!" Teriak Sholikhah
 "Aku tidak akan berhenti kalau kamu terus mengejarku." Aku pun ikut sedikit berteriak
"Baiklah aku akan berhenti." Pintanya.
Aku pun berhenti dan sedikit sambil mengambil langkah mundur ketika Sholikhah mulai mendekatiku dengan berjalan perlahan. Kamipun merasa kelelahan dan mengatur nafas sejenak, namun....
Akhirnya bel masuk pun berbunyi. Aku merasa terlindungi.
"Sholikhah... Kita akan bertemu lain hari, maaf aku belum bisa menghadapimu... Sampai jumpa..." aku berbicara sejenak kepadanya kemudian meninggalkan Sholikhah. Aku melihat Sholikhah tampak kecewa dan sedikit kesal kepadaku namun apa boleh buat.

****
"Hammi, darimana saja kamu?, kamu kayak kucing saja sukanya main sendiri..."
Ima ternyata sedang menungguku didekat pintu kelas. Aku hanya menyeringai saja. Sambil berjalan bersama dengan Ima menuju tempat duduk samar-samar aku mendengar teman lain sedang mengobrol. Berbeda-beda, entah apa yang mereka obrolkan.
"Hana... Apa benar kamu jadian sama Dian?" tiba-tiba salah seorang teman nyeletuk memulai pembicaraan. Dan aku menjadi penasaran, sedikit kualihkan perhatianku kepada mereka itu mengetahui apa yang sedang terjadi.
"Itu benar Fata" temanku Lisa sedang memulai penjelasan.
"Gini lho... Tadi, waktu aku dan Hana sedang pergi bersama ke kantin, kita kan melewati kelasnya kan alias kelasnya Dian, eh tiba-tiba dari arah belakang ada yang memanggil, Hana! Gitu, trus kita berdua jadi noleh ke arah asal suara itu."
"Dan?" Fata mulai penasaran
Lisa pun tiba-tiba mencoba memperagakan kejadian tersebut. Dia menempatkan Hana ke tempat adegan dan Lisa berpura-pura menjadi Dian yang berada di belakang agak jauh dari tempat Hana.
"Hana!" Lisa mencoba memanggilnya dan mengubah suaranya sedikit agak lantang. Dan Hana pun menoleh.
"Maukah kamu jadi pacarku?"
"Gedubrak!" tiba-tiba aku menjatuhkan dahiku ke meja. "Whats! To the point bangetss."
"Iya." Hana menjawabnya dengan tersipu malu.
Jawaban yang tiba-tiba itu juga membuatku tidak menyangka. "Shock aku, Yang benar saja?!"
"Uwaaa...." Sontak teman-teman gadis yang mendengarkannya berteriak manja, seolah-olah merasa iri terhadap Hana.
"Cih, apa istimewanya dia sih."
Tiba-tiba Siti ikut-ikutan nyeletuk, "Cih, apa istimewanya dia sih?!"
Aku pun langsung kaget. Kemudian Ima juga ikut-ikutan sambil berbisik kepada kami berempat. Yaah, begitulah jadi giliran grup kami yang mulai mengobrol asik tidak mau kalah dengan lainnya. Mulai deh mengobrolkan hal-hal yang tidak penting menurutku.
"Denger-denger Dian itu playboy lhoo..." Ima sok tau banget.
"Glek!" aku hanya menelan ludah, mencoba untuk tidak kaget ataupun memberi respon apapun. Bersikap biasa dan tidak ingin tau.
"Kenapa juga Hana mau dipacari olehnya, harusnya diakan juga tau kalo Dian itu playboy. Aku sih ogah, cuih!" Ima jadi merasa kesal sendiri
Siti pun menambahi, "betul! sudah banyak gadis yang dia gombali, tapi yaa mereka malah suka-suka aja digombalin olehnya. Siapa sih yang enggak kenal Dian, dia raja gombal. huff... Tapi, sebenernya... Aku pun juga ingin digombalin olehnya, huhuhu, hahaha..." sambil memegangi pipinya dan senyum-senyum sendiri Siti mulai kehilangan akalnya.
Aku, Rahma, Ruli, Ima dan Siti pun menjadi tertawa bersama.
 
"Teman-teman... Mohon perhatiannya!"
"Ada apa inih?" Ima bertanya-tanya. Sepertinya ketua kelas mau memberitahu sesuatu hal.
"Teman-teman, ini ada tugas dari ibu Sri. Ibu Sri tidak bisa mengajar karena beliau sedang sakit. Jadi, tolong kerjakan dengan baik dan hari ini harus selesai. Terima kasih"
Sebagian dari teman kami menyudahi obrolan mereka dan mulai mengerjakan tugas dari ibu Sri. Hmm.. Karena obrolanku bersama Ima dkk belum selesai, yaa masih lanjut deh.
"Dian, yaa..." Ruli mencoba untuk mendiskripsikan si Dian. "Hmmm..."
"Haaah, kapan habisnya obrolan ini?" sambil memandang langit jiwaku menghela nafas, aku tidak terlalu tertarik memperhatikan setiap dari penjelasan Ruli mengenai si Dian, tapi telingaku masih bisa mendengarkannya...

Continue >>>
 

Pena Umida

Free Joomla TemplatesFree Blogger TemplatesFree Website TemplatesFreethemes4all.comFree CSS TemplatesFree Wordpress ThemesFree Wordpress Themes TemplatesFree CSS Templates dreamweaverSEO Design